kisah penyemangat

Awalnya malu, lama-lama bangga


ANAK pasti bangga dengan profesi orang tuanya, apapun itu. begitu pula agung bhaktiar yang beberapa waktu lalu lulus sebagai dolter dari fakultas kedokteran UGM. ia tak pernah menyembunyikan jati diri dan pekerjaan ayahnya yang merupakan tukang becak dan ibunya yang sehari-hari mencari nafkah sebagai sebagai pemulung.

"namun sebagai manusia, ketika awal-awal masuk kuliah ada juga rasa malu,minder,dan bermacam-macam perasaan yang gak karuan," ungkap agung yang seperti bapaknya, Suyatno, juga terlihat lugu dan apa adanya.

perasaan mau minder dianggap-nya wajar, karena siapapun yang berada pada posisinya pasti merasakan hal yang sama. Berada dilingkungan calon dokter yang sebagian besar berasal dari kalangan orang berpunya tentu membawa nuansa tersendiri.


agung menguatkan tekad, bukan mereka saja yang bisa mencapai cita-cita, anak tukang becak pun memiliki hak yang sama. Tekad kuad dan dorongan orang tua, serta pengorbanan kakak-kakaknya yang bersekolah sampai bangku SMA saja, menjadikan dia semakin bersemangat menempuh kuliah, kendati berada di lingkungan yang jauh dari kehidupannya. Dia pun tak ingin menyembunyikan jati diri dan keluarganya. Agung terus terang mengaku dan bangga dengan pekerjaan orang tuanya, tukang becak dan pemulung.

 “lama-lama hilanglah perasaan malu, minder. Teman-teman tak pernah memandang lain, semua sama. Saya cerita apa adanya soal keluarga. Alhamdullilah, selama di kampus hingga kini tak ada persoalan,” ujar lulusan SMA N 6 Yogyakarta itu.

Keluarga orang tua agung, Suyaiatno dan saniyem, tak pernah memaksakan kehendak agar dia kuliah di fakultas tertentu. Mereka hanya ingin si anak bias melebihi bapaknya yang hanya tamat Sekolah Rakyat (SR) dan ibunya yang tak pernah menikmati bangku sekolah.

Semuanya mengalir apa adanya. Agung tumbuh sebagai anak biasa di lingkungan rumahnya yang sangat padat berimpitan satu sama lain dan bertembok gedhek (anyman bambu) di pinggir kali code. Di sanalah dia belajar dengan segala keterbatasan.

“tak pernah ada paksaan dari orang tua ataupun kakak. Semua mengalir begitu saja. Mereka hanya mengingatkan saya belajar semaksimal mungkin, biar ada salah satu (anggota keluarga) yang jadi orang. Semua kakak ikhlas, biar saya yang saja yang sekolah tinggi menggapai cita-cita” tutur agung.

Suyatno yang tak ingin meniggalkan mbecak di hari tuanya menganggukkan kepala mengamini cerita Agung. Dia mengatakan, sebagai orang tua wajib membantu dan membiayai  anaknya. Sebagian upah jerih payah mengayuh becak selama seharian di gunakan untuk makan sehari-hari , lainya untuk keperluan Agung.

Di mata Suyatno dan Saniyem, anak bungsunya itu tak beda dari anak lainnya. Ketika duduk di bangku SMP, Agung juga suka main PS( play station) seperti kebanyakan anak seusianya. Kadang-kadang nyolong-nyolong supaya tidak ketahuan. Memang, sejak kecil Agung sekali waktu bergumam ingin menjadi dokter. Cita-cita yang menurut Suyatno awalnya sangat jauh bagi keluarga sangat sederhana itu, tapi sekarang jadi kenyataan.

“saya tak pernah ngoprak-oprak melarang main PS, hanya mengingatkanaja kerep-kerep dolanan PS. Eman-eman duite, iso kanggo liane , begitu Suyatno mengingatkan anaknya.

Di tengah cucuran keringat orang tuanya yang tiap hari kepanasan dan kehujanan, Agung mampu mewujudkan mimpi dan cita-citanya. Harapan orang tua supaya dia jadi orang, terlaksana sudah. Kini Agung ingin mempersembahkan apa yang telah diacapaiya untuk orang tua dan keluarga besarnya, serta meniti karir lebih jauh di bidang kedokteran.
(Agung PW-59)

Sumber : SM/dokumentasi Humas UGM

Comments

Popular posts from this blog

Entity Relationship Diagram (ERD) Minimarket

RPL

Otomata & Teori Bahasa